Menjelang Hari Raya Iduladha, aktivitas ekonomi rakyat kembali menunjukkan geliat signifikan. Sentra-sentra penjualan hewan kurban bermunculan di berbagai wilayah, mencerminkan peningkatan tajam permintaan musiman. Di balik dinamika tersebut, terdapat aspek fiskal yang penting untuk dicermati: bagaimana ketentuan perpajakan diterapkan terhadap kegiatan usaha yang berkaitan dengan jual beli hewan kurban?
Data dari Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menunjukkan bahwa pada tahun 2023, potensi ekonomi dari kegiatan kurban mencapai sekitar Rp24,5 triliun, mencakup transaksi atas 1,78 juta ekor hewan—terdiri dari 505.000 ekor sapi dan kerbau serta 1,23 juta ekor kambing dan domba. Angka tersebut menggambarkan kontribusi signifikan sektor ini terhadap perekonomian dalam waktu yang relatif singkat.
Kewajiban Perpajakan Pelaku Usaha Kurban
Dalam perspektif hukum perpajakan, setiap entitas—baik individu maupun badan—yang memperoleh penghasilan dari kegiatan usaha, termasuk penjualan hewan kurban, dikategorikan sebagai subjek pajak dalam negeri dan memiliki kewajiban untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak Penghasilan (PPh).
1. Skema PPh Final untuk UMKM
Wajib Pajak Orang Pribadi dengan omzet tahunan ≤ Rp4,8 miliar dikenai PPh Final 0,5% dari omzet bulanan sesuai PP 55 Tahun 2022. Pajak ini bersifat final dan dilaporkan dalam SPT Tahunan dengan mekanisme yang disederhanakan.
2. PPh Badan untuk Entitas Usaha
Untuk pelaku usaha berbentuk badan hukum (misalnya CV atau PT), berlaku ketentuan umum PPh Badan dengan tarif 22% atas laba kena pajak, disertai kewajiban pembukuan dan pelaporan periodik berdasarkan UU PPh jo. UU Cipta Kerja.
PPN dan Transaksi Khusus
Hewan ternak yang lazim digunakan untuk kurban—sapi, kambing, domba—termasuk dalam kategori barang kebutuhan pokok dan oleh karena itu tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berdasarkan PMK No. 142/PMK.010/2017.
Namun demikian, transaksi tertentu dapat menimbulkan implikasi PPh lain:
-
Instansi Pemerintah wajib memotong PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari nilai pembelian.
-
Pelaku usaha sektor swasta dapat dikenai PPh Pasal 23, jika transaksi diklasifikasikan sebagai penyediaan jasa tertentu (misalnya distribusi atau penjualan melalui perantara).
Donasi Hewan Kurban dan Perlakuan Fiskal
Pemberian hewan kurban secara cuma-cuma oleh donatur kepada lembaga keagamaan tidak dikenai PPh, selama tidak terdapat hubungan timbal balik atau imbal jasa. Ketentuan ini merujuk pada Pasal 4 ayat (3) UU PPh, yang mengatur pengecualian terhadap hibah dan sumbangan murni.
Lembaga penerima juga tidak dibebani kewajiban perpajakan, sepanjang kegiatan distribusi tidak dilakukan untuk tujuan komersial.
Simulasi Singkat Perhitungan PPh
1. Penjual UMKM (Orang Pribadi)
Omzet musiman Pak Fulan: Rp100 juta
PPh Final: 0,5% × Rp100 juta = Rp500.000
2. Penjual Berbadan Hukum (CV/PT)
CV Kurban Majalaya: omzet Rp2 miliar, laba bersih Rp600 juta
PPh terutang: 22% × Rp600 juta = Rp132 juta
3. Transaksi dengan Pemerintah
Masjid Raya membeli 10 kambing seharga total Rp30 juta
PPh Pasal 22: 1,5% × Rp30 juta = Rp450.000 (dipotong oleh instansi)
Potensi Penerimaan dan Tantangan Kepatuhan
Secara teoritis, dengan asumsi seluruh pelaku usaha kurban tunduk pada skema PPh Final 0,5%, potensi penerimaan negara mencapai Rp122,5 miliar. Namun demikian, realisasi angka tersebut sangat bergantung pada tingkat kepatuhan pelaporan dan pembayaran pajak, serta efektivitas pengawasan fiskal di sektor informal.
Refleksi: Sinergi Spiritualitas dan Kepatuhan Fiskal
Ibadah kurban adalah manifestasi nilai pengorbanan dan solidaritas sosial. Namun di sisi lain, kegiatan ekonomi yang menyertainya merupakan bagian dari sistem fiskal yang mendukung pembangunan nasional. Dalam konteks ini, pelaporan pajak secara jujur dan akurat bukan hanya kewajiban legal, tetapi juga bentuk tanggung jawab moral sebagai warga negara.
Sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 42:
“Dan janganlah kamu campuradukkan antara yang benar dan yang batil, dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya.”